Selasa, 30 November 2010

Kafir

Berhati-hati Dengan Pengkafiran

Deringan suara pedang demikian deras. Tiba-tiba seorang sahabat menjatuhkan lawannya dari kubu kafir ke atas tanah Tanpa sangka-sangka, tiba-tiba saja sang kafir berucap "Laa ilaaha illallah-Muhammadan Rasulullah". Sang sahabat berfikir, apa yang diucapkannya itu adalah kebohongan semata. Maka pedangnya pun melebat menebas leher musuhnya tadi. Ia pun meninggal dengan ucapan terakhir "Kalimah Laa ilaaha illallah-Muhammadan Rasulullah".
Mendengar kejadian tersebut, Rasulullah SAW memanggil sahabat yang mulia itu. Seorang sahabat yang dikenal kekentalan iman dan loyalitasnya terhadap kebenaran dan pembawanya (Rasulullah SAW). Begitu mendekat, beliau menanyakan: "Apa gerangan yang menjadikan kamu membunuhnya?" Dengan hati yang mantap dijawabnya: "Ia mengucapkan itu karena ketakutan ya Raulullah". Namun Rasulullah kembali menanyakan dengan suatu ungkapan yang tak perlu dijawab karena sekaligus merupakan jawaban (Suaal istifhami): "Hal syaqaqta min qalbih?" (Apakah anda telah membuka hatinya?). Mendengar itu, sang sahabat agung terdiam seribu bahasa. Serentak ia berkata kepada rekan-rekannya: "Rasanya saya baru saja masuk Islam".
Kata kafir dalam bahasa Arab berasala dari "kafara-yakfuru-kufran" yang berarti "menutupi". Peribadatan yang dilakukan karena suatu pelanggaran dalam peribadatan itu sendiri disebut kaffarat. Misalnya "Puasa kaffarah" dll. Sementara itu, dalam bahasa Arab para petani, selain kata "fallah" juga disebut dengan istilah "kuffar" sebagaimana dalam S. Muhammad (Yu'jibuzzurra' al kuffar), karena mereka dikenal menutupi benih tanaman yang diharapkan tumbuh dan memberikan buah-buah segar bagi kelangsungan manusia. Dan banyak lagi contoh-contoh yang lain.
Dengan demikian, pengingkar kebenaran dinamakan kafir, karena secara prinsip mereka menutupi kebenaran yang seharusnya tumbuh subur dan memberikan buah-buah segar dalam kehiduapn manusia. Benih kebenaran ini dikebal dengan istilah "Syajarah Thayyibah" dalam S. Ibrahim. "Wa matsalu kalimatin thayyibatin ka syajaratin thayyibatin ashluha tsaabitun wa far'uha fissama tu'ti ukulaha kulla hiinin biidzni Rabbiha". (Perumpamaan kalimah thayyibah seperti pohon yang bagus. Akarnya menghunjam ke dalam tanah dan cabang-cabangnya mencakar langit. Memberikan buahnya setiap saat dengan izin Tuhannya".
Dengan demikian, keimanan atau fitrah manusia seharusnya tumbuh subur, yang setiap saat buahnya dirasakan oleh manusia. Buah keimanan ini akan dirasakan oleh semua pihak, tidak mengenal batas dan lintas golongan maupun teritorial dalam hubungan internasional "Laa syarqiyah wa laa gharbiyyah" (tidak hanya timur, dan hanya pula barat). Semua kalangan, tan discriminasi kulit, suku, bangsa, dan bahkan agama sekalipun. Konsep ini tentunya membawa pula kita kepada konsep-konsep manusia yang lain, apakah sosialisme, kapitalisme, dst.
Hanya saja, bahwa dalam kenyataannya banyak manusia yang menutupi keberadaan benih-benih kebenaran tersebut. Mereka ingkar, mereka mendustai, mereka mengaburkan, serta melakukan berbagai upaya sehingga kebenaran tersebut tidak nampak ke permukaan bumi ini. Manusia yang melakukan inilah disebut sebagai manusia yang kafir atau penimbung kebenaran. Dengan kata lain, kaum kafir sesungguhnya bukan tidak memiliki kebenaran dalam dirinya, karena kebenaran atau fitrah dalam diri setiap insan itu abadi sifatnya "Fitratallah al ladzi fatarannasa 'alaeha, laa tabdiila likhalqillah" (Itulah fitrah, yang di aatasnya diciptakan setiap insan. Fitrah itu tidak mungkin terubah) (Rum:30). Yang terjadi kemudian adalah "kufrun" atau upaya-upaya untuk menutupi kebenaran Ilahi agar tidak tampil ke atas permukaan bumi.

Macam-macam Kekafiran

Merujuk ke berbagai ayat maupun hadits, disimpulkan bahwa kekafiran terbagi kepada dua bagian, yaitu kufrun I'tiqaadi dan kufrun 'amali.
Pertama, "kurfrun I'tikaadi" adalah penyembunyian atau pengingkaran dalam hal keimanan (akidah) terhadapa kebenaran yang datang dari Allah. Inilah yang diungkapkan misalnya oleh Allah di S. Albaqarah: "Sesungguhnya orang-orang yang kafir adalah sama bagi mereka, apakah kamu memberikan petunjuk kepada mereka atau tidak, mereka tidak akan beriman" (Al Baqarah:6). Mereka memang secara imani atau I'tikadi menyembunyikan apa yang sesungguhnya sesuai dengan fitrah atau nurani (mungkin diistilahkan hati kecil)nya itu sendiri.
Pengingkaran tersebut dapat dirasakan oleh mereka sendiri, atau memang tidak dirasakan sebagai suatu pengingkaran. Para pembesar qurays ketika itu sadar dan bahkan dalam hati kecilnya insaf (mengakui kebenaran) yang dibawa Muhammad SAW. Namun karena "gengsi" yang disebabkan oleh "kesombongan" mereka terpaksan mengatakan "tidak". Sebaliknya, Fir'aun betul-betul tidak menyadari lagi "nurani"nya saat itu. Ini disebabkan karena "fitrah" yang bersemayam dalam hatinya itu telah terkungkung oleh jiwa keangkuhan yang berlebihan. Sehingga ketika Musa dan harun datang kepadanya, mengajaknya kepada penyembahan Ilahi, ia berkata: "Wa maa rabbukuma ya muusa wa haaruun" (Siapa sih Tuhanmu wahai Musa dan harun?"
Namun ketidak sadaran Fir'aun itu menjadi alam kesadaran pada saat jiwa kesombongannya mencair oleh situasi alam sekitarnya. Pada saat ia tenggelam di laut merah, tak seorang pun yang mampu menolongnya, termasuk dirinya sendiri walau mengaku tuhan, ia pun menjerit dan berucap: "Al aana amantu birabbil 'alamiin, Rabbi Musa wa harun" (Sekarang saya beriman kepada Tuhan semesta alam, Tuhannya Musa dan harun". Ia mengakui Allah, walaupun masih dengan ungkapan kesombongan, seolah Allah hanya Tuhannya Musa dan Harun saja.
Kelompok lain dari kategori kufur pertama ini adalah mereka yang hipokrit (munafik). Mereka, kendati memperlihatkan amalan-amalan imani dan islami, namun secara imani atau I'tikadi menolak kebenaran tersebut. Kelompok manusia seperti ini, jika ditinjau dari sudut pandang strategi perjuangan justeru lebih berbahaya. Oleh sebab itu, wajar saja jika S. Albaqarah yang turun dalam konteks perjuangan Rasulullah SAW menegakkan "Islamic Society" secara panjang lebar menceritakan kriteri mereka ini.
Kedua, "kufrun 'amali" adalah menyembunyikan kebenaran dalam perbuatan, tapi secara imani menerimanya sebagai kebenaran. Oleh para ulama, disimpulkan bahwa siapa saja yang pernah mengucapkan "kalimah Thayyibah" (Laa ilaaha Illallah-Muhammadan rasulullah) dengan ikhlas, sungguh-sungguh dalam pengucapannya, lalu kemudian terjerumus dalam perilaku yang bertentangan dengan ucapannya itu, maka ia masuk dalam kategori "Kufrun 'amali". Namun dengan satu catatan bahwa keterjerumusannya dalam suatu tindakan yang bertentangan dengan islam tidaklah menyentuh daerah keyakinannya.
Sebagai misal, di dalam ayat disebutkan bahwa: "Waman yaqtul Mu'minan muta'ammidan, fajazaauhu jahannam khaalidanÉdst" (An Nisa: 93) Artinya: "Barangsiapa yang membunuh mu'min dengan sengaja maka balasannya adalah jahannam, kekal di dalamnya dstÉ".
Konteks ayat di atas adalah pembicaraan mengenai hukum-hukum hubungan antar Muslim. Dengan demikian, yang dimaksud pembunuh pada ayat itu adalah Muslim. Masalahnya adalah apakah makna dari kekal dalam jahannam? Bukankah dalam haditsnya, Rasulullah SAW pernah mensabdakan: "Man Qaala Laa ilaah illaLLah Mukhlisan min qalbih dakhalal Jannah" (Siapa yang mengucapkan Laa ilaah illallah ikhlas dari hatinya, akan masuk ke dalam Syurga). Lalu bagaimana seorang yang membunuh sesama Muslim tapi pernah mengucapkannya dengan ikhlas? Apakah arti mengucapkan Laa ilaah illallah dengan ikhlas menytransfer manusia menjadi malaikat sehingga tidak lagi berbuat salah?
Para Ulama menyimpulkan bahwa hadits tidak dimaksudkan bahwa jika seseorang mengucapkannya dengan ikhlas lalu tidak akan lagi terjerumus ke dalam kesalahan-kesalahan. Bukankah kesalahan itu sendiri adalah ciri khusus yang tidak terpisahkan dari hidup manusia? Bakan terkadang menjadi ciri ketakwaan, asal saja diikuti dengan "pengakuan dan permohonan ampun" (Dan orang-orang yang jika melakukan kekejian atau menzalimi diri mereka sendiri, mereka ingat Allah dan mereka beristghfar memohon ampunan untuk dosa-dosa mereka).
Pembunuhan yang dilakukan oleh orang-orang yang beriman terhadap sesama Mu'min, selama tidak diyakini bahwa membunuh itu adalah "halal" dianggap sebagai "kabirah" atau dosa besar. Jika dalam kehidupannya tidak segera disusuli dengan "Taubat" maka jelas kata Allah, akibatnya adalah Jahannam kekal di dalamnya. Kekal di sini adalah kekal dalam arti waktu yang cukup lama. Sebagaimana Allah berfirman: "Khaalidiina fiiha ahqaaba" (mereka kekal di dalamnya dalam beberapa fase yang lama) (An Naba). Artinya kekalnya seorang pendosa Muslim pasti berbeda dengan kekalnya seorang yang memang secara "I'tiqaad" tidak beriman. Sebab jika sama, lalu di mana kita dudukkan sifat Allah yang Maha Adil?
Tentu banyak contoh yang dapat kita ajukan. Namun kesimpulan yang akan diambil adalah bahwa kekafiran itu ada dua macamnya. Justeru kita harus berhati-hati melabelkan kekafiran kepada sesama Muslim, terlepas dari perilaku yang dialkukannya. Karena sesungguhnya hati dan nuraninya hanya dia dan Allah yang tahu. Maka kalau kita kembali kepada cerita di awal tulisan ini, memang seharusnya kita berhati-hati. Jangan-jangan kita mengkafirkan seseorang, padahal dalam dirinya masih terbersit serpihan iman sekecil apapun. Jika ini terjadi, maka sesungguhnya kita sudah melakukan pelanggaran ketuhanan, sebab hak menilai iman dan kafirnya seseorang hanyalah hak Allah Yang Maha Tahu. Wallahu a'lam!

 

Ahlus Sunnah Wal Jama'ah

Muhammad bin Abdullah Al-Wuhaibi

As-Sunnah dalam istilah mempunyai beberapa makna (lihat: Mawaqif Ibnu Taimiyah Minal Asy'ariyah I: 3804 oleh Syaikh Abdur-Rahman Al-Mahmud dan Mafhum Ahlis Sunnah Wal Jama'ah Inda Ahlis Sunnah Wal Jama'ah oleh Syaikh Nasyir Al-Aql). Dalam tulisan ringkas ini tidak hendak dibahas makna-makna itu. Tetapi hendak menjelaskan istilah "As-Sunnah" atau "Ahlus Sunnah" menurut petunjuk yang sesuai dengan i'tiqad Al-Imam Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan: "... Dari Abu Sufyan Ats-Tsauri ia berkata:
"Berbuat baiklah terhadap ahlus-sunnah karena mereka itu ghuraba" [Diriwayatkan oleh Al-Lalika'i dalam "Syarhus-Sunnah" No. 49]
Yang dimaksud "As-Sunnah" menurut para Imam yaitu: "Thariqah (jalan hidup) Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dimana beliau shallallahu 'alaihi wa sallam dan para shahabat berada di atasnya. Yang selamat dari syubhat dan syahwat", oleh karena itu Al-Fudhail bin Iyadh mengatakan: "Ahlus Sunnah itu orang yang mengetahui apa yang masuk ke dalam perutnya dari (makanan) yang halal".[lihat: Al-Lalika'i Syarhus Sunnah No. 51 dan Abu Nu'aim dalam Al-Hilyah 8:1034]
Karena tanpa memakan yang haram termasuk salah satu perkara sunnah yang besar yang pernah dilakukan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan para shahabat radhiyallahu 'anhum. Kemudian dalam pemahaman kebanyakan Ulama Muta'akhirin dari kalangan Ahli Hadits dan lainnya. As-Sunnah itu ungkapan tentang apa yang selamat dari syubhat-syubhat dalam i'tiqad khususnya dalam masalah-masalah iman kepada Allah, para Malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, para Rasul-Nya, Hari Akhir, begitu juga dalam masalah-masalah Qadar dan Fadhailush-Shahabah (keutamaan shahabat).
Para Ulama itu menyusun beberapa kitab dalam masalah ini dan mereka menamakan karya-karya mereka itu sebagai "As-Sunnah". Menamakan masalah ini dengan "As-Sunnah" karena pentingnya masalah ini dan orang yang menyalahi dalam hal ini berada di tepi kehancuran. Adapun Sunnah yang sempurna adalah thariqah yang selamat dari syubhat dan syahwat. (Kasyful Karriyyah 19-20).
Ahlus Sunnah adalah mereka yang mengikuti sunnah Nabi shallallahu 'alahi wa sallam dan sunnah shahabatnya radhiyallahu 'anhum.
Al-Imam Ibnul Jauzi mengatakan: "... Tidak diragukan bahwa Ahli Naqli dan Atsar pengikut atsar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan atsar para shahabatnya, mereka itu Ahlus Sunnah". (Talbisul Iblis oleh Ibnul Jauzi hal.16 dan lihat Al-Fashlu oleh Ibnu Hazm 2:107).
Kata "Ahlus-Sunnah" mempunyai dua makna:
Mengikuti sunnah-sunnah dan atsar-atsar yang datangnya dari Rasulullah shallallu 'alaihi wa sallam dan para shahabat radhiyallahu 'anhum, menekuninya, memisahkan yang shahih dari yang cacat dan melaksanakan apa yang diwajibkan dari perkataan dan perbuatan dalam masalah aqidah dan ahkam.
Lebih khusus dari makna pertama, yaitu yang dijelaskan oleh sebagian ulama dimana mereka menamakan kitab mereka dengan nama As-Sunnah, seperti Abu Ashim, Al-Imam Ahmad bin Hanbal, Al-Imam Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, Al-Khalal dan lain-lain. Mereka maksudkan (As-Sunnah) itu i'tiqad shahih yang ditetapkan dengan nash dan ijma'.
Kedua makna itu menjelaskan kepada kita bahwa madzhab Ahlus Sunnah itu kelanjutan dari apa yang pernah dilakukan Rasulullah shallallahu 'alaih wa sallam dan para shahabat radhiyallahu 'anhum. Adapun penamaan Ahlus Sunnah adalah sesudah terjadinya fitnah ketika awal munculnya firqah-firqah.
Ibnu Sirin rahimahullah mengatakan: "Mereka (pada mulanya) tidak pernah menanyakan tentang sanad. Ketika terjadi fitnah (para ulama) mengatakan: Tunjukkan (nama-nama) perawimu kepada kami. Kemudian ia melihat kepada Ahlus Sunnah sehingga hadits mereka diambil. Dan melihat kepada Ahlul Bi'dah dan hadits mereka tidak diambil". (Diriwayatkan oleh Muslim dalam Muqaddimah kitab shahihnya hal.15).
Al-Imam Malik rahimahullah pernah ditanya: "Siapakah Ahlus Sunnah itu? Ia menjawab: Ahlus Sunnah itu mereka yang tidak mempunyai laqab (julukan) yang sudah terkenal yakni bukan Jahmi, Qadari, dan bukan pula Rafidli". (Al-Intiqa fi Fadlailits Tsalatsatil Aimmatil Fuqaha. hal.35 oleh Ibnu Abdil Barr).
Kemudian ketika Jahmiyah mempunyai kekuasaan dan negara, mereka menjadi sumber bencana bagi manusia, mereka mengajak untuk masuk ke aliran Jahmiyah dengan anjuran dan paksaan. Mereka menggangu, menyiksa dan bahkan membunuh orang yang tidak sependapat dengan mereka. Kemudian Allah Subhanahu wa Ta'ala menciptakan Al-Imam Ahmad bin Hanbal untuk membela Ahlus Sunnah. Dimana beliau bersabar atas ujian dan bencana yang ditimpakan mereka.
Beliau membantah dan patahkan hujjah-hujjah mereka, kemudian beliau umumkan serta munculkan As-Sunnah dan beliau menghadang di hadapan Ahlul Bid'ah dan Ahlul Kalam. Sehingga, beliau diberi gelar Imam Ahlus Sunnah.
Dari keterangan di atas dapat kita simpulkan bahwa istilah Ahlus Sunnah terkenal di kalangan Ulama Mutaqaddimin (terdahulu) dengan istilah yang berlawanan dengan istilah Ahlul Ahwa' wal Bida' dari kelompok Rafidlah, Jahmiyah, Khawarij, Murji'ah dan lain-lain. Sedangkan Ahlus Sunnah tetap berpegang pada ushul (pokok) yang pernah diajarkan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan shahabat radhiyallahu 'anhum.

AHLUS SUNNAH WAL-JAMA'AH

Istilah yang digunakan untuk menamakan pengikut madzhab As-Salafus Shalih dalam i'tiqad ialah Ahlus Sunnah wal Jama'ah. Banyak hadits yang memerintahkan untuk berjama'ah dan melarang berfirqah-firqah dan keluar dari jama'ah. (lihat: Wujubu Luzuumil Jama'ah wa Dzamit Tafarruq. hal. 115-117 oleh Jamal bin Ahmad Badi).
Para ulama berselisih tentang perintah berjama'ah ini dalam beberapa pendapat. (Al-I'tisham 2:260-265).
  • Jama'ah itu adalah As-Sawadul A'dzam (sekelompok manusia atau kelompok terbesar-pen) dari pemeluk Islam.
  • Para Imam Mujtahid
  • Para Shahabat Nabi radhiyallahu 'anhum.
  • Jama'ahnya kaum muslimin jika bersepakat atas sesuatu perkara.
  • Jama'ah kaum muslimin jika mengangkat seorang amir.
Pendapat-pendapat di atas kembali kepada dua makna: Bahwa jama'ah adalah mereka yang bersepakat mengangkat seseorang amir (pemimpin) menurut tuntunan syara', maka wajib melazimi jama'ah ini dan haram menentang jama'ah ini dan amirnya.
Bahwa jama'ah yang Ahlus Sunnah melakukan i'tiba' dan meninggalkan ibtida' (bid'ah) adalah madzhab yang haq yang wajib diikuti dan dijalani menurut manhajnya. Ini adalah makna penafsiran jama'ah dengan Shahabat Ahlul Ilmi wal Hadits, Ijma' atau As-Sawadul A'dzam. (Mauqif Ibni Taimiyah Minal Asya'irah 1: 17).
Syaikhul Islam mengatakan: "Mereka (para ulama) menamakan Ahlul Jama'ah karena jama'ah itu adalah ijtima' (berkumpul) dan lawannya firqah. Meskipun lafadz jama'ah telah menjadi satu nama untuk orang-orang yang berkelompok. Sedangkan ijma' merupakan pokok ketiga yang menjadi sandaran ilmu dan dien. Dan mereka (para ulama) mengukur semua perkataan dan pebuatan manusia zhahir maupun bathin yang ada hubungannya dengan dien dengan ketiga pokok ini (Al-Qur'an, Sunnah dan Ijma'). (Majmu al-Fatawa 3:175).
Istilah Ahlus Sunnah wal Jama'ah mempunyai istilah yang sama dengan Ahlus Sunnah. Dan secara umum para ulama menggunakan istilah ini sebagai pembanding Ahlul Ahwa' wal Bida'. Contohnya: Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhum mengatakan tentang tafsir firman Allah Ta'ala:
"Pada hari yang di waktu itu ada muka yang putih berseri dan adapula muka yang muram". (Ali-Imran: 105).
"Adapun orang-orang yang mukanya putih berseri adalah Ahlus Sunnah wal Jama'ah sedangkan orang-orang yang mukanya hitam muram adalah Ahlul Ahwa' wa Dhalalah". (Diriwayatkan oleh Al-Lalika'i 1:72 dan Ibnu Baththah dalam Asy-Syarah wal Ibanah 137. As-Suyuthi menisbahkan kepada Al-Khatib dalam tarikhnya dan Ibni Abi Hatim dalam Ad-Durrul Mantsur 2:63).
Sufyan Ats-Tsauri mengatakan: "Jika sampai (khabar) kepadamu tentang seseorang di arah timur ada pendukung sunnah dan yang lainnya di arah barat maka kirimkanlah salam kepadanya dan do'akanlah mereka. Alangkah sedikitnya Ahlus Sunnah wal Jama'ah". (Diriwayatkan oleh Al-Lalika'i dalam Syarhus Sunnah 1:64 dan Ibnul Jauzi dalam Talbisul Iblis hal.9).
Jadi kita dapat menyimpulkan bahwa Ahlus Sunnah wal Jama'ah adalah firqah yang berada diantara firqah-firqah yang ada, seperti juga kaum muslimin berada di tengah-tengah milah-milah lain. Penisbatan kepadanya, penamaan dengannya dan penggunaan nama ini menunjukkan atas luasnya i'tiqad dan manhaj.
Nama Ahlus Sunnah merupakan perkara yang baik dan boleh serta telah digunakan oleh para Ulama Salaf. Diantara yang paling banyak menggunakan istilah ini ialah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah.

ASY'ARIYAH, MATURIDIYAH DAN ISTILAH AHLUS SUNNAH

Asy'ariyah dan Maturidhiyah banyak menggunakan istilah Ahlus Sunnah wal Jama'ah ini, dan di kalangan mereka kebanyakan mengatakan bahwa madzhab salaf "Ahlus Sunnah wa Jama'ah" adalah apa yang dikatakan oleh Abul Hasan Al-Asy'ari dan Abu Manshur Al-Maturidi. Sebagian dari mereka mengatakan Ahlus Sunnah wal Jama'ah itu As'ariyah, Maturidiyah dan Madzhab Salaf.
Az-Zubaidi mengatakan: "Jika dikatakan Ahlus Sunnah, maka yang dimaksud dengan mereka itu adalah Asy'ariyah dan Maturidiyah". (Ittihafus Sadatil Muttaqin 2:6).
Penulis Ar-Raudhatul Bahiyyah mengatakan: "Ketahuilah bahwa pokok semua aqaid Ahlus Sunnah wal Jama'ah atas dasar ucapan dua kutub, yakni Abul Hasan Al-Asy'ari dan Imam Abu Manshur Al-Maturidi". ( Ar-Raudlatul Bahiyyah oleh Abi Udibah hal.3).
Al-Ayji mengatakan: "Adapun Al-Firqotun Najiyah yang terpilih adalah orang-orang yang Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berkata tentang mereka: "Mereka itu adalah orang-orang yang berada di atas apa yang Aku dan para shahabatku berada diatasnya". Mereka itu adalah Asy'ariyah dan Salaf dari kalangan Ahli Hadits dan Ahlus Sunnah wal Jama'ah". (Al-Mawaqif hal. 429).
Hasan Ayyub mengatakan: "Ahlus Sunnah adalah Abu Hasan Al-Asy'ari dan Abu Mansyur Al-Maturidi dan orang-orang yang mengikuti jalan mereka berdua. Mereka berjalan di atas petunjuk Salafus Shalih dalam memahami aqaid". (lihat: Tabsithul Aqaidil Islamiyah, hal. 299 At-Tabshut fi Ushulid Din, hal. 153, At-Tamhid oleh An-nasafi hal.2, Al-Farqu Bainal Firaq, hal. 323, I'tiqadat Firaqil Muslimin idal Musyrikin, hal. 150).
Pada umumnya mereka mengatakan aqidah Asy'ariyah dan Maturidiyah berdasarkan madzhab Ahlus Sunnah wal Jama'ah. Disini tidak bermaksud mempermasalahkan pengakuan bathil ini. Tetapi hendak menyebutkan dua kesimpulan dalam masalah ini.
Bahwa pemakaian istilah ini oleh pengikut Asy'ariyah dan Maturidiyah dan orang-orang yang terpengaruh oleh mereka sedikitpun tidak dapat merubah hakikat kebid'ahan dan kesesatan mereka dari Manhaj Salafus Shalih dalam banyak sebab.
Bahwa penggunaan mereka terhadap istilah ini tidak menghalangi kita untuk menggunakan dan menamakan diri dengan istilah ini menurut syar'i dan yang digunakan oleh para Ulama Salaf. Tidak ada aib dan cercaan bagi yang menggunakan istilah ini. Sedangkan yang diaibkan adalah jika bertentangan dengan i'tiqad dan madzhab Salafus Shalih dalam pokok (ushul) apapun.
 

ZAKAT


Bicara soal zakat dikaitkan dengan pemerataan ada kesan
memaksakan diri, mangada-ada!. Tapi, anehnya orang tak kunjung
kapok menjadikannya sebagai tema. Seolah-olah yang penting
bukan kesepadanan konsep zakat dengan pemerataan. Tapi adanya
kekuatan ghaib, magic, yang tersimpan dalam kata-kata "zakat"
itu sendiri. Ibarat figur, kata-kata zakat diyakini sebagai
tokoh imam mahdi atau ratu adil yang meski pun sangat sulit
orang mencernanya, tapi dalam hati tetap bercokol keyakinan,
suatu saat nanti, lambat atau cepat, kehebatan dan mukjizatnya
diperlihatkan juga.

Sesungguhnyalah, mengkaitkan soal pemerataan, bahkan keadilan
sekaligus, dengan konsep zakat bukan merupakan hal yang tak
masuk akal. Bahkan mengkaitkannya dengan rukun Islam yang lain
(syahadat, shalat, puasa, juga haji) bukan merupakan perkara
mustahil. Misalnya karena kekhusyukannya dalam menunaikan
shalat, seseorang yang kebetulan kaya raya tiba-tiba
terpanggil menginfakkan seluruh hartanya untuk menghidupi
orang-orang miskin, orang ini terbuka tabir kerohaniannya.
Tanpa diduga-duga orang ini tiba-tiba tersadarkan bahwa di
alam dunia ini, seseorang boleh tak punya apa-apa, atau hanya
pas-pasan saja, yang penting adalah keterpautan hati secara
terus menerus untuk menyebut nama-nama Nya. Ajaib! Tapi,
bagaimanapun hal ini memang tak mustahil.

Masalahnya, dengan segala ajarannya, Islam bukanlah sejenis
halte tempat orang menunggu dengan kepasifan, di mana akan
munculnya momen-momen ajaib yang lahir atas campur tangan
langsung Tuhan seperti digambarkan di atas. Karena Islam
datang sebagai petunjuk untuk manusia dan diterapkan oleh
manusia dalam kapasitas kodratinya yang wajar-wajar saja.
Yakni manusia sebagai makhluk Tuhan yang memiliki segala
kemungkinan dan potensi kebaikan maupun keburukan, kekuatan
maupun kelemahan. Manusia yang bisa salah bisa benar, bisa
baik bisa jahat, bisa meng-iblis tapi juga bisa menjadi
laiknya malaikat. Sementara untuk manusia yang luar biasa,
manusia yang dengan hak prerogatif Tuhan hanya memiliki
kemungkinan baik, atau hanya memiliki potensi buruk --kalau
saja yang demikian itu ada dalam kenyataan Islam-- Islam tak
punya urusan.

Sebagai agama yang datang untuk kehidupan manusia dalam ukuran
yang normal atau yang wajar, Islam tak saja harus ma'qul
(sensible), tapi sekaligus juga ma'mul (applicable). Ma'qul
artinya bisa dicerna logika penalaran, sedang ma'mul artinya
bisa dicerna logika kesejarahan. Logika pemikiran hadir dalam
ujud rnaqal yang bersifat teoritis, logika kesejarahan hadir
dalam ujud hal yang bersifat empirik. Berbeda dengan logika
teoritis yang bersifat abstrak dan subyektif, logika empiris
bersifat konkrit dan obyektif. Suatu ajaran untuk bisa disebut
ma'mul, harus bisa dijabarkan dalam kerangka kerja sistem yang
bisa dirancang, dikontrol dan bisa diukur. Ini berarti bahwa
yang ma'qul belum tentu matmul, tapi yang ma'mul secara
implisit haruslah ma'qul.

Kembali pada pokok soal, tentang "pemerataaan" atau lebih
mendasar lagi soal "keadilan sosial," orang bisa saja
mengatakan bahwa semua rukun Islam yang lima cukup ma'qul
untuk memecahkannya. Tapi dari semua yang ma'qul itu,
satu-satunya yang sekaligus ma'mul adalah rukun yang ketiga,
yakni zakat. Karena seperti halnya tema pemerataan, atau
keadilan sosial, yang titik berangkatnya adalah pada
pemerataan akses sumber daya materi, zakat adalah satu-satunya
rukun Islam yang berkaitan langsung dengan persoalan materi
itu. Benar bahwa haji pun bersentuhan dengan soal materi, tapi
hanya sebagai sarana yang tetap ada di luar zat-Nya.

Lebih dari sekedar meletakkan soal penguasaan sumber daya
materi sebagai subyeknya, zakat --berbeda dengan haji-- bahkan
meletakkannya sebagai sesuatu yang harus diatur sedemikian
rupa agar kemungkinannya untuk menumpuk hanya pada kalangan
tertentu (aghniya) bisa dihindarkan, atau ditekan
serendah-rendahnya. Sasarannya bukan agar semua orang memiliki
bagian secara sama rata, rata sedikitnya atau banyaknya. Tapi
agar tak terjadi suasana ketimpangan, dimana sebagian yang
lain hampir-hampir tak memiliki sama sekali. Sebab bermula
dari ketimpangan dalam hal materi (ekonomi), ketimpangan di
bidang yang lain (politik dan budaya) hampir pasti selalu saja
membuntuti.

Maka konsep dasar zakat sebagai mekanisme redistribusi
kekayaan (materi) adalah pengalihan sebagian aset materi yang
dimiliki kalangan kaya (yang memiliki lebih dari yang
diperlukan) untuk kemudian didistribusikan pada mereka yang
tak punya (fakir miskin dan sejenisnya) dan kepentingan
bersama. Seyogyanyalah pengalihan itu dilaksanakan kalangan
berada atas kesadaran mereka sendiri. Tapi karena manusia
mengidap nafsu "cinta harta" (hub-u 'l-dunya), maka kehadiran
lembaga yang memiliki kewenangan memaksa untuk melakukan
pengalihan itu pun menjadi tak terelakkan. Lembaga itu, yang
dalam realitas sosiologis memuncak pada apa yang dikenal
dengan negara (state), dari sudut moral memang merupakan
anomali. Tapi lembaga anomali tersebut perlu justru untuk
menjadi penawar bagi anomali lain yang ada pada diri manusia,
yakni nafsu gila harta (keduniaan) tadi.

Tapi disinilah persoalannya, lembaga negara yang secara moral
hanya bisa dijustified sepanjang berfungsi sebagai racun
penawar terhadap kerakusan duniawi masyarakat manusia (yang
kuat), dalam sejarahnya justru cenderung memainkan peran
terbalik. Ia dengan segala perangkat lunaknya (seperti sistem
hukum dan perundang-undangan) maupun yang keras (seperti
satelit pengintai dan senjata rudalnya) seringkali menjadi
alat bagi kepentingan "penyakit keduniaan" yang seharusnya
dinetralisir oleh keberadaannya. Maka bisa dimengerti apabila
pernah muncul suatu obsesi dalam sejarah pemikiran manusia
yang mengimpikan suatu zaman dimana apa yang disebut lembaga
negara itu tak usah ada lagi. Ajaran Nabi Isa secara implisit
ingin sekali mengingkari keberadaannya. Juga ajaran Karl Marx,
18 abad kemudian secara eksplisit mengidealkan kepunahannya.
Zaman idaman baginya adalah zaman ketika lembaga negara telah
lenyap berikut seluruh akar-akarnya.

Syahdan, dalam sejarah politik kenegaraan modern, konsep pajak
sedikit banyak sudah mulai diberi fungsi redistribusi kekayaan
seperti tersebut di atas. Bahkan dengan tarif begitu tinggi
yang disebut dengan pajak progresif. Tapi persoalannya,
setelah pajak yang tinggi itu ditarik dari masyarakat wajib
pajak, apakah memang kemudian ditasarufkan untuk mengangkat
kehidupan mereka yang tak punya dan untuk kemaslahatan semua
pihak? Inilah persoalan dasar, siapa yang sebenarnya paling
diuntungkan oleh pranata pajak yang ditangani lembaga negara,
atau oleh hampir semua negara di atas bumi ini?

Pertanyaan tersebut mengena bukan saja terhadap lembaga negara
yang dikelola secara otoriter, atau semi otoriter, seperti
yang terjadi di banyak bumi belahan Timur, tapi juga terhadap
negara-negara lain yang mengaku berjalan secara demokratis,
seperti Amerika dan negara-negara Barat. Memang lebih gila
lagi, secara lahir batin, adalah negara-negara monarki absolut
zaman dulu. Apabila negara di zaman modern sudah mulai
melibatkan rakyat melalui wakil-wakilnya dalam menentukan
penggunaan uang pajaknya melalui undang-undang, negara monarki
absolut memandang kewenangan pengalokasian uang pajak
(upeti/tax) sepenuhnya di tangan sang raja saja.

Tapi ya itu tadi, dengan peranan lembaga perwakilan rakyat
dalam tata kenegaraan modern belum menjadi jaminan bahwa uang
pajak akan ditasarufkan dengan prioritas utama bagi pembebasan
rakyat lemah. Dimulai dari pembebasan di bidang ekonomi,
kemudian menyusul bidang-bidang kehidupan lain yang lebih
sublim, politik dan budaya. Penjelasannya sederhana, di
negara-negara Timur yang paternalistik, keberadaan lembaga
perwakilan rakyat umumnya hanya merupakan permainan politik
kalangan elite penguasa. Lembaga Perwakilan Rakyat hanyalah
sekedar "nama dan proforma". Kesadaran dan perilaku mereka
tetaplah untuk mengelabui rakyat bagi kepentingan para
penguasa yang mengatur keberadaan mereka. Lembaga Perwakilan
Rakyat di negara-negara Timur yang paternalistik, pada
hakekatnya adalah lembaga Perwakilan Penguasa.

Di negara-negara Barat yang liberal-kapitalistik, independensi
lembaga perwakilan rakyat dengan penguasa (baca: eksekutif)
memang cukup kuat. Tapi hal itu tetap bukan (belum?) dalam
rangka penegakkan kontrol atas lembaga negara bagi kepentingan
rakyat; lebih-lebih rakyat pada lapisannya yang paling jelata.
Berbeda dengan di Timur, di Barat negara memang sudah tak lagi
sepenuhuya milik penguasa (kaum bangsawan, aristokrat, baik
secara keturunan maupun SK jabatan seperti di Timur). Tapi
juga belum berarti telah kembali pada pemiliknya yang sah,
yaitu rakyat keseluruhan yang dimulai dari lapisannya yang
paling jelata. Di Barat negara dengan seluruh soko gurunya
(eksekutif, legislatif maupun judikatif), sudah berada di
tangan rakyat, tapi baru yang ada di lapisan menengah dan
terutama lapisan atas. Mereka yang ada di lapisan bawah, yang
justru merupakan pemilik utama sebutan "rakyat" kapan saja ia
diucapkan, masih jauh dari dapat disebut memiliki negara.

Hal tersebut dapat dilihat dengan jelas, misalnya, dalam
alokasi penggunaan dana pajak dalam APBN mereka. Bagian yang
paling besar dari dana itu diperuntukkan untuk melindungi atau
melayani kepentingan kelas menengah ke atas. Apakah melalui
sektor pertahanan dalam pengertian yang luas dengan dalih demi
kepentingan nasional mereka, atau melalui sektor pembangunan
sarana-sarana mana yang diperuntukkan utamanya bagi kalangan
masyarakat kelas menengah ke atas. Berapa anggaran belanja
yang diperuntukkan bagi pembebasan rakyat (jelata), sama
sekali tak berarti. Bahwa di negara-negara Eropa dan Amerika
yang pendapatan perkapitanya telah mencapai angka 8 ribu
sampai 11 ribu dollar pertahun masih banyak warga negara yang
tuna wisma (homeless) adalah bukti yang sangat cukup bahwa
rakyat jelata di sana memang belum bisa disebut ikut memiliki
negara.

Memang ada drama yang menarik, dan bisa mengelabui banyak
orang, seolah negara-negara liberal kapitalis Barat itu telah
menempatkan dirinya di bawah kepentingan rakyat sejati, kaum
lemah dan melarat. Drama itu pementasannya di masyarakat
bangsa negara-negara Timur yang umumnya miskin dan lemah.
Setiap kali bencana dan musibah terjadi di masyarakat dunia
Timur, negara-negara Barat segera menunjukkan kedermawanannya
(charity). Lebih dari itu, apabila negara-negara Timur yang
miskin itu memerlukan perbaikan ekonomi, mereka siap
menawarkan bantuannya. Baik yang berupa hibah (grant) maupun
yang berupa pinjaman (loan).

Akibat permainan drama kolosal ini, banyak orang terhegemoni
untuk meyakini bahwa Barat memang teladan dunia; sistem
kenegaraan/pemerintahan yang liberal-kapitalistik memang
merupakan pilihan sejarah terbaik dan terakhir. Padahal, jika
dilihat sedikit lebih kritis, akan segera tampak pada kita
bahwa apa yang diperbuat negara-negara Barat tetaplah demi
kepentingan mereka sendiri, sama sekali bukan demi kepentingan
rakyat dan bangsa negara-negara Timur. Dan kepentingan mereka
(negara-negara Barat), seperti disebutkan di atas adalah
kepentingan kelompok yang mengontrol roda kenegaraan atau
pemerintahan, yakni kelompok orang-orang yang secara politik
mengendalikan jalannya pemerintahan itu sendiri dan kalangan
para kaya kapitalis, selaku cukongnya.

Sampai titik ini sebenarnya telah jelas bagi kita bahwa,
sekurang-kurangnya dalam tingkat verbal, ide dasar dari zakat
bukan sesuatu yang sama sekali asing dalam struktur pemikiran
kenegaraan, lebih-lebih kenegaraan modern. Dengan pranata
pajaknya ide zakat (bahwa yang kuat harus menanggung beban)
sudah banyak dilaksanakan oleh hampir semua negara di jaman
ini, bahkan dalam tarif yang begitu tinggi. Hanya masalahnya,
bahwa beban yang ditimpakan kepada mereka yang punya, yakni
beban pajak, ternyata digelapkan oleh negara sehingga tak
sampai ke alamat (mustahiq) yang semestinya. Di dunia Timur
yang feodalistik, dana pajak yang dikenakan atas orang-orang
kaya dibelokkan pentasarufannya untuk kepentingan para
penguasa untuk mempertahankan kekuasaannya. Sementara di Barat
yang liberal-kapitalistik, dana pajak yang semestinya
diprioritaskan pentasarufannya untuk memperkuat yang lemah,
diputarkan kembali untuk melipat gandakan kekuatan mereka yang
sudah kuat, yakni kaum kapitalis dan tentu saja para elite
politik sebagai pengawal kepentingan-kepentingannya.

Dengan kata lain persoalan pokok dalam topik redistribusi
kekayaan (asset) untuk pemerataan, dan kemudian keadilan
sosial dalam tatarannya yang lebih luas, agaknya tak lagi
terutama terletak pada kalangan kaya. Memang di sana bukan tak
ada masalah sama sekali. Nafsu kerakusan mereka untuk
mengakumulasikan kekayaan lebih banyak dan lebih banyak lagi,
jelas merupakan persoalan yang tetap serius bagi ide
pemerataan dan keadilan. Tapi fakta bahwa dalam kerakusannya
mereka bisa diikat komitmennya untuk menyisihkan sebagian dari
kekayaannya (berupa pajak) adalah bukti bahwa persoalan pokok
tak lagi sepenuhnya di tangan mereka. Persoalan pokok itu kini
jelas terutama ada di pihak apa yang kita sebut lembaga
negara. Karena dia (lembaga negara)-lah yang berbuat
selingkuh. So, what?!

Menuruti obsesi Marx bahwa lembaga negara mesti dienyahkan
atau pengingkaran Isa as. terhadap lembaga itu rasa-rasanya
tak realistik. Negara, apalagi dalam pengertian yang lebih
luas sebagai lembaga permufakatan kolektif, betapa pun
konyolnya tidaklah mungkin dihindari. Mengingkari lembaga
negara untuk semangat (ruh) kolektivitas manusia hukumnya sama
belaka dengan mengingkari badan bagi ruh individualitas
manusia. Seperti halnya badan (kecil), negara sebagai badan
besar pun mengidap nafsu-nafsu (interests) negatif duniawi
yang selalu cenderung memperalat dirinya. Tapi dengan
bercokolnya nafsu-nafsu itu pada badan, tak seorang pun
--kecuali langka, kalau pun ada-- yang pernah menyarankan
jalan keluar agar badan itu dimusnahkan saja daripada
diperalat oleh nafsu-nafsu negatif yang melekat padanya Yang
paling sehat dan fitri (Islami) tentulah pendirian yang
mengatakan, "Biarlah badan itu tetap ada dan tumbuh dengan
kewajarannya. Tapi dengan pengawasan atau kontrol yang terus
menerus jangan sampai jatuh dan diperalat oleh nafsu-nafsu
jahat yang mengitarinya."

Demikianlah Muhammad Rasulullah sebagai teladan umat manusia
tak perlu menyatakan penolakan terhadap keberadaan lembaga
negara. Bahkan beliau sendiri dengan komunitasnya, dengan
sadar telah membangun lembaga itu. Tapi inilah kuncinya,
lembaga kenegaraan itu beliau bangun dengan kewaspadaan penuh,
dengan meyakinkan masyarakat akan pentingnya kontrol sosial
(amar ma'ruf nahi munkar) secara terus menerus, agar
keberadaan lembaga negara itu tetap sebagai alat, bukan bagi
kepentingan penguasa atau kalangan kaya, melainkan bagi
kepentingan seluruh rakyat yang ada dalam otoritasnya. Dari
sudut konsepsi zakat, kedudukan negara atau kekuasaan
pemerintahan adalah amil yang harus melayani kepentingan
segenap rakyat, dengan membebaskan kemaslahatan (keadilan dan
kesejahteraan) bagi semuanya.

Memang untuk menegakkan keadilan sosial dalam semangat dan
kerangka zakat, ada pekerjaan rumah (PR) yang harus
diselesaikan lebih dahulu. Konsepsi tentang ajaran zakat (dan
pada akhirnya tentang bangunan fiqh secara keseluruhan) yang
sudah terlanjur mendogma di kalangan umat selama lebih dari
sepuluh abad, harus ditransformasikan terlebih dahulu.
Pekerjaan ini berat dan memakan waktu. Sebagian orang mungkin
merasa lebih aman dalam dekapan dogma lama ketimbang harus
berspekulasi dengan pamahaman ajaran yang "baru." Tapi tanpa
keberanian moral dan intelektual untuk melakukan perubahan
itu, maka pengkaitan ajaran Zakat dengan cita pemerataan,
apalagi keadilan, tak lebih hanyalah mitos belaka.

 

Membumikan Al-Quran

oleh Dr. M. Quraish Shihab

Makna Isra' dan Mi'raj

Perjalanan Nabi Muhammad saw. dari Makkah ke Bayt Al-Maqdis, kemudian naik ke Sidrat Al-Muntaha, bahkan melampauinya, serta kembalinya ke Makkah dalam waktu sangat singkat, merupakan tantangan terbesar sesudah Al-Quran disodorkan oleh Tuhan kepada umat manusia. Peristiwa ini membuktikan bahwa 'ilm dan qudrat Tuhan meliputi dan menjangkau, bahkan mengatasi, segala yang finite (terbatas) dan infinite (tak terbatas) tanpa terbatas waktu atau ruang.
Kaum empirisis dan rasionalis, yang melepaskan diri dari bimbingan wahyu, dapat saja menggugat: Bagaimana mungkin kecepatan, yang bahkan melebihi kecepatan cahaya, kecepatan yang merupakan batas kecepatan tertinggi dalam continuum empat dimensi ini, dapat terjadi? Bagaimana mungkin lingkungan material yang dilalui oleh Muhammad saw. tidak mengakibatkan gesekan-gesekan panas yang merusak tubuh beliau sendiri? Bagaimana mungkin beliau dapat melepaskan diri dari daya tarik bumi? Ini tidak mungkin terjadi, karena ia tidak sesuai dengan hukum-hukum alam, tidak dapat dijangkau oleh pancaindera, bahkan tidak dapat dibuktikan oleh patokan-patokan logika. Demikian kira-kira kilah mereka yang menolak peristiwa ini.
Memang, pendekatan yang paling tepat untuk memahaminya adalah pendekatan imaniy. Inilah yang ditempuh oleh Abu Bakar AlShiddiq, seperti tergambar dalam ucapannya: "Apabila Muhammad yang memberitakannya, pasti benarlah adanya." Oleh sebab itu, uraian ini berusaha untuk memahami peristiwa tersebut melalui apa yang kita percayai kebenarannya berdasarkan bukti-bukti ilmiah yang dikemukakan oleh Al-Quran.
Salah satu hal yang menjadi pusat pembahasan Al-Quran adalah masa depan ruhani manusia demi mewujudkan keutuhannya. Uraian Al-Quran tentang Isra' dan Mi'raj merupakan salah satu cara pembuatan skema ruhani tersebut. Hal ini terbukti jelas melalui pengamatan terhadap sistematika dan kandungan Al-Quran, baik dalam bagian-bagiannya yang terbesar maupun dalam ayat-ayatnya yang terinci.
Tujuh bagian pertama Al-Quran membahas pertumbuhan jiwa manusia sebagai pribadi-pribadi yang secara kolektif membentuk umat.
Dalam bagian kedelapan sampai keempat belas, Al-Quran menekankan pembangunan manusia seutuhnya serta pembangunan masyarakat dan konsolidasinya. Tema bagian kelima belas mencapai klimaksnya dan tergambar pada pribadi yang telah mencapai tingkat tertinggi dari manusia seutuhnya, yakni al-insan al-kamil. Dan karena itu, peristiwa Isra' dan Mi'raj merupakan awal bagian ini, dan berkelanjutan hingga bagian kedua puluh satu, di mana kisah para rasul diuraikan dari sisi pandangan tersebut. Kemudian, masalah perkembangan ruhani manusia secara orang per orang diuraikan lebih lanjut sampai bagian ketiga puluh, dengan penjelasan tentang hubungan perkembangan tersebut dengan kehidupan masyarakat secara timbal-balik.
Kemudian, kalau kita melihat cakupan lebih kecil, maka ilmuwan-ilmuwan Al-Quran, sebagaimana ilmuwan-ilmuwan pelbagai disiplin ilmu, menyatakan bahwa segala sesuatu memiliki pendahuluan yang mengantar atau menyebabkannya. Imam Al-Suyuthi berpendapat bahwa pengantar satu uraian dalam Al-Quran adalah uraian yang terdapat dalam surat sebelumnya.204 Sedangkan inti uraian satu surat dipahami dari nama surat tersebut, seperti dikatakan oleh Al-Biqai'i.205 Dengan demikian, maka pengantar uraian peristiwa Isra' adalah surat yang dinamai Tuhan dengan sebutan Al-Nahl, yang berarti lebah.
Mengapa lebah? Karena makhluk ini memiliki banyak keajaiban. Keajaibannya itu bukan hanya terlihat pada jenisnya, yang jantan dan betina, tetapi juga jenis yang bukan jantan dan bukan betina. Keajaibannya juga tidak hanya terlihat pada sarang-sarangnya yang tersusun dalam bentuk lubang-lubang yang sama bersegi enam dan diselubungi oleh selaput yang sangat halus menghalangi udara atau bakteri menyusup ke dalamnya, juga tidak hanya terletak pada khasiat madu yang dihasilkannya, yang menjadi makanan dan obat bagi sekian banyak penyakit. Keajaiban lebah mencakup itu semua, dan mencakup pula sistem kehidupannya yang penuh disiplin dan dedikasi di bawah pimpinan seekor "ratu". Lebah yang berstatus ratu ini pun memiliki keajaiban dan keistimewaan. Misalnya, bahwa sang ratu ini, karena rasa "malu" yang dimiliki dan dipeliharanya, telah menjadikannya enggan untuk mengadakan hubungan seksual dengan salah satu anggota masyarakatnya yang jumlahnya dapat mencapai sekitar tiga puluh ribu ekor. Di samping itu, keajaiban lebah juga tampak pada bentuk bahasa dan cara mereka berkomunikasi, yang dalam hal ini telah dipelajari secara mendalam oleh seorang ilmuwan Austria, Karl Van Fritch.
Lebah dipilih Tuhan untuk menggambarkan keajaiban ciptaan-Nya agar menjadi pengantar keajaiban perbuatan-Nya dalam peristiwa Isra' dan Mi'raj. Lebah juga dipilih sebagai pengantar bagi bagian yang menjelaskan manusia seutuhnya. Karena manusia seutuhnya, manusia mukmin, menurut Rasul, adalah "bagaikan lebah, tidak makan kecuali yang baik dan indah, seperti kembang yang semerbak; tidak menghasilkan sesuatu kecuali yang baik dan berguna, seperti madu yang dihasilkan lebah itu."
Dalam cakupan yang lebih kecil lagi, kita melontarkan pandangan kepada ayat pertama surat pengantar tersebut. Di sini Allah berfirman: Telah datang ketetapan Allah (Hari Kiamat). Oleh sebab itu janganlah kamu meminta agar disegerakan datangnya.
Dunia belum kiamat, mengapa Allah mengatakan kiamat telah datang? Al-Quran menyatakan "telah datang ketetapan Allah," mengapa dinyatakan-Nya juga "jangan meminta agar disegerakan datangnya"? Ini untuk memberi isyarat sekaligus pengantar bahwa Tuhan tidak mengenal waktu untuk mewujudkan sesuatu. Hari ini, esok, juga kemarin, adalah perhitungan manusia, perhitungan makhluk. Tuhan sama sekali tidak terikat kepadanya, sebab adalah Dia yang menguasai masa. Karenanya Dia tidak membutuhkan batasan untuk mewujudkan sesuatu. Dan hal ini ditegaskan-Nya dalam surat pengantar ini dengan kalimat: Maka perkataan Kami kepada sesuatu, apabila Kami menghendakinya, Kami hanya menyatakan kepadanya "kun" (jadilah), maka jadilah ia (QS 16:40).
Di sini terdapat dua hal yang perlu digarisbawahi. Pertama, kenyataan ilmiah menunjukkan bahwa setiap sistem gerak mempunyai perhitungan waktu yang berbeda dengan sistem gerak yang lain. Benda padat membutuhkan waktu yang lebih lama dibandingkan dengan suara. Suara pun membutuhkan waktu lebih lama dibandingkan dengan cahaya. Hal ini mengantarkan para ilmuwan, filosof, dan agamawan untuk berkesimpulan bahwa, pada akhirnya, ada sesuatu yang tidak membutuhkan waktu untuk mencapai sasaran apa pun yang dikehendaki-Nya. Sesuatu itulah yang kita namakan Allah SWT, Tuhan Yang Mahaesa.
Kedua, segala sesuatu, menurut ilmuwan, juga menurut Al-Quran, mempunyai sebab-sebab. Tetapi, apakah sebab-sebab tersebut yang mewujudkan sesuatu itu? Menurut ilmuwan, tidak. Demikian juga menurut Al-Quran. Apa yang diketahui oleh ilmuwan secara pasti hanyalah sebab yang mendahului atau berbarengan dengan terjadinya sesuatu. Bila dinyatakan bahwa sebab itulah yang mewujudkan dan menciptakan sesuatu, muncul sederet keberatan ilmiah dan filosofis.
Bahwa sebab mendahului sesuatu, itu benar. Namun kedahuluan ini tidaklah dapat dijadikan dasar bahwa ialah yang mewujudkannya. "Cahaya yang terlihat sebelum terdengar suatu dentuman meriam bukanlah penyebab suara tersebut dan bukan pula penyebab telontarnya peluru," kata David Hume. "Ayam yang selalu berkokok sebelum terbit fajar bukanlah penyebab terbitnya fajar," kata Al-Ghazali jauh sebelum David Hume lahir. "Bergeraknya sesuatu dari A ke B, kemudian dari B ke C, dan dari C ke D, tidaklah dapat dijadikan dasar untuk menyatakan bahwa pergerakannya dari B ke C adalah akibat pergerakannya dari A ke B," demikian kata Isaac Newton, sang penemu gaya gravitasi.
Kalau demikian, apa yang dinamakan hukum-hukum alam tiada lain kecuali "a summary o f statistical averages" (ikhtisar dari rerata statistik). Sehingga, sebagaimana dinyatakan oleh Pierce, ahli ilmu alam, apa yang kita namakan "kebetulan" dewasa ini, adalah mungkin merupakan suatu proses terjadinya suatu kebiasaan atau hukum alam. Bahkan Einstein, lebih tegas lagi, menyatakan bahwa semua apa yang terjadi diwujudkan oleh "superior reasoning power" (kekuatan nalar yang superior). Atau, menurut bahasa Al-Quran, "Al-'Aziz Al-'Alim", Allah Yang Mahaperkasa lagi Maha Mengetahui. Inilah yang ditegaskan oleh Tuhan dalam surat pengantar peristiwa Isra' dan Mi'raj itu dengan firman-Nya: Kepada Allah saja tunduk segala apa yang di langit dan di bumi, termasuk binatang-binatang melata, juga malaikat, sedangkan mereka tidak menyombongkan diri. Mereka takut kepada Tuhan mereka yang berkuasa atas mereka dan mereka melaksanakan apa yang diperintahkan (kepada mereka) (QS 16:49-50).
Pengantar berikutnya yang Tuhan berikan adalah: Janganlah meminta untuk tergesa-gesa. Sayangnya, manusia bertabiat tergesa-gesa, seperti ditegaskan Tuhan ketika menceritakan peristiwa Isra' ini, Adalah manusia bertabiat tergesa-gesa (QS 17:11). Ketergesa-gesaan inilah yang antara lain menjadikannya tidak dapat membedakan antara: (a) yang mustahil menurut akal dengan yang mustahil menurut kebiasaan, (b) yang bertentangan dengan akal dengan yang tidak atau belum dimengerti oleh akal, dan (c) yang rasional dan irasional dengan yang suprarasional.
Dari segi lain, dalam kumpulan ayat-ayat yang mengantarkan uraian Al-Quran tentang peristiwa Isra' dan Mi'raj ini, dalam surat Isra' sendiri, berulang kali ditegaskan tentang keterbatasan pengetahuan manusia serta sikap yang harus diambilnya menyangkut keterbatasan tersebut. Simaklah ayat-ayat berikut: Dia (Allah) menciptakan apa-apa (makhluk) yang kamu tidak mengetahuinya (QS 16:8); Sesungguhnya Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui (QS 16:74); dan Dan tidaklah kamu diberi pengetahuan kecuali sedikit (QS 17:85); dan banyak lagi lainnya. Itulah sebabnya, ditegaskan oleh Allah dengan firman-Nya: Dan janganlah kamu mengambil satu sikap (baik berupa ucapan maupun tindakan) yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentang hal tersebut; karena sesungguhnya pendengaran, mata, dan hati, kesemuanya itu kelak akan dimintai pertanggungjawaban (QS 17:36).
Apa yang ditegaskan oleh Al-Quran tentang keterbatasan pengetahuan manusia ini diakui oleh para ilmuwan pada abad ke-20. Schwart, seorang pakar matematika kenamaan Prancis, menyatakan: "Fisika abad ke-19 berbangga diri dengan kemampuannya menghakimi segenap problem kehidupan, bahkan sampai kepada sajak pun. Sedangkan fisika abad ke-20 ini yakin benar bahwa ia tidak sepenuhnya tahu segalanya, walaupun yang disebut materi sekalipun." Sementara itu, teori Black Holes menyatakan bahwa "pengetahuan manusia tentang alam hanyalah mencapai 3% saja, sedang 97% selebihnya di luar kemampuan manusia."
Kalau demikian, seandainya, sekali lagi seandainya, pengetahuan seseorang belum atau tidak sampai pada pemahaman secara ilmiah atas peristiwa Isra' dan Mi'raj ini; kalau betul demikian adanya dan sampai saat ini masih juga demikian, maka tentunya usaha atau tuntutan untuk membuktikannya secara "ilmiah" menjadi tidak ilmiah lagi. Ini tampak semakin jelas jika diingat bahwa asas filosofis dari ilmu pengetahuan adalah trial and error, yakni observasi dan eksperimentasi terhadap fenomena-fenomena alam yang berlaku di setiap tempat dan waktu, oleh siapa saja. Padahal, peristiwa Isra' dan Mi'raj hanya terjadi sekali saja. Artinya, terhadapnya tidak dapat dicoba, diamati dan dilakukan eksperimentasi.
Itulah sebabnya mengapa Kierkegaard, tokoh eksistensialisme, menyatakan: "Seseorang harus percaya bukan karena ia tahu, tetapi karena ia tidak tahu." Dan itu pula sebabnya, mengapa Immanuel Kant berkata: "Saya terpaksa menghentikan penyelidikan ilmiah demi menyediakan waktu bagi hatiku untuk percaya." Dan itu pulalah sebabnya mengapa "oleh-oleh" yang dibawa Rasul dari perjalanan Isra' dan Mi'raj ini adalah kewajiban shalat; sebab shalat merupakan sarana terpenting guna menyucikan jiwa dan memelihara ruhani.
Kita percaya kepada Isra' dan Mi'raj, karena tiada perbedaan antara peristiwa yang terjadi sekali dan peristiwa yang terjadi berulang kali selama semua itu diciptakan serta berada di bawah kekuasaan dan pengaturan Tuhan Yang Mahaesa.
Sebelum Al-Quran mengakhiri pengantarnya tentang peristiwa ini, dan sebelum diungkapnya peristiwa ini, digambarkannya bagaimana kelak orang-orang yang tidak mempercayainya dan bagaimana pula sikap yang harus diambilnya. Allah berfirman: Bersabarlah wahai Muhammad; tiadalah kesabaranmu melainkan dengan pertolongan Allah. Janganlah kamu bersedih hati terhadap (keingkaran) mereka. Jangan pula kamu bersempit dada terhadap apa-apa yang mereka tipudayakan. Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan orang orang yang berbuat kebajikan. (QS 16:127-128). Inilah pengantar Al-Quran yang disampaikan sebelum diceritakannya peristiwa Isra' dan Mi'raj.
Agaknya, yang lebih wajar untuk dipertanyakan bukannya bagaimana Isra' dan Mi 'raj terjadi, tetapi mengapa Isra' dan Mi 'raj.
Seperti yang telah dikemukakan pada awal uraian, Al-Quran, pada bagian kedelapan sampai bagian kelima belas, menguraikan dan menekankan pentingnya pembangunan manusia seutuhnya dan pembangunan masyarakat beserta konsolidasinya. Ini mencapai klimaksnya pada bagian kelima belas atau surat ketujuh belas, yang tergambar pada pribadi hamba Allah yang di-isra'-kan ini, yaitu Muhammad saw., serta nilai-nilai yang diterapkannya dalam masyarakat beliau. Karena itu, dalam kelompok ayat yang menceritakan peristiwa ini (dalam surat Al-Isra'), ditemukan sekian banyak petunjuk untuk membina diri dan membangun masyarakat.
Pertama, ditemukan petunjuk untuk melaksanakan shalat lima waktu (pada ayat 78). Dan shalat ini pulalah yang merupakan inti dari peristiwa Isra' dan Mi'raj ini, karena shalat pada hakikatnya merupakan kebutuhan mutlak untuk mewujudkan manusia seutuhnya, kebutuhan akal pikiran dan jiwa manusia, sebagaimana ia merupakan kebutuhan untuk mewujudkan masyarakat yang diharapkan oleh manusia seutuhnya. Shalat dibutuhkan oleh pikiran dan akal manusia, karena ia merupakan pengejawantahan dari hubungannya dengan Tuhan, hubungan yang menggambarkan pengetahuannya tentang tata kerja alam raya ini, yang berjalan di bawah satu kesatuan sistem. Shalat juga menggambarkan tata inteligensia semesta yang total, yang sepenuhnya diawasi dan dikendalikan oleh suatu kekuatan Yang Mahadahsyat dan Maha Mengetahui, Tuhan Yang Mahaesa. Dan bila demikian, maka tidaklah keliru bila dikatakan bahwa semakin mendalam pengetahuan seseorang tentang tata kerja alam raya ini, akan semakin tekun dan khusyuk pula ia melaksanakan shalatnya.
Shalat juga merupakan kebutuhan jiwa. Karena, tidak seorang pun dalam perjalanan hidupnya yang tidak pernah mengharap atau merasa cemas. Hingga, pada akhirnya, sadar atau tidak, ia menyampaikan harapan dan keluhannya kepada Dia Yang Mahakuasa. Dan tentunya merupakan tanda kebejatan akhlak dan kerendahan moral, apabila seseorang datang menghadapkan dirinya kepada Tuhan hanya pada saat dirinya didesak oleh kebutuhannya.
Shalat juga dibutuhkan oleh masyarakat manusia, karena shalat, dalam pengertiannya yang luas, merupakan dasar-dasar pembangunan. Orang Romawi Kuno mencapai puncak keahlian dalam bidang arsitektur, yang hingga kini tetap mengagumkan para ahli, juga karena adanya dorongan tersebut. Karena itu, Alexis Carrel menyatakan: "Apabila pengabdian, shalat, dan doa yang tulus kepada Sang Maha Pencipta disingkirkan dari tengah kehidupan bermasyarakat, maka hal itu berarti kita telah menandatangani kontrak bagi kehancuran masyarakat tersebut." Dan, untuk diingat, Alexis Carrel bukanlah seorang yang memiliki latar belakang pendidikan agama. Ia adalah seorang dokter yang telah dua kali menerima hadiah Nobel atas hasil penelitiannya terhadap jantung burung gereja serta pencangkokannya. Dan, menurut Larouse Dictionary, Alexis Carrel dinyatakan sebagai satu pribadi yang pemikiran-pemikirannya secara mendasar akan berpengaruh pada penghujung abad XX ini.
Apa yang dinyatakan ilmuwan ini sejalan dengan penegasan Al-Quran yang ditemukan dalam pengantar uraiannya tentang peristiwa Isra' dalam surat Al-Nahl ayat 26. Di situ digambarkan pembangkangan satu kelompok masyarakat terhadap petunjuk Tuhan dan nasib mereka menurut ayat tersebut: Allah menghancurkan bangunan-bangunan mereka dari fondasinya, lalu atap bangunan itu menimpa mereka dari atas; dan datanglah siksaan kepada mereka dari arah yang mereka tidak duga (QS 16:26).
Kedua, petunjuk-petunjuk lain yang ditemukan dalam rangkaian ayat-ayat yang menjelaskan peristiwa Isra' dan Mi'raj, dalam rangka pembangunan manusia seutuhnya dan masyarakat adil dan makmur, antara lain adalah: Jika kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya mereka menaati Allah untuk hidup dalam kesederhanaan), tetapi mereka durhaka; maka sudah sepantasnyalah berlaku terhadap mereka ketetapan Kami dan Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya (QS 17:16).
Ditekankan dalam surat ini bahwa "Sesungguhnya orang yang hidup berlebihan adalah saudara-saudara setan" (QS 17:27).
Dan karenanya, hendaklah setiap orang hidup dalam kesederhanaan dan keseimbangan: Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu (pada lehermu dan sebaliknya), jangan pula kamu terlalu mengulurkannya, agar kamu tidak menjadi tercela dan menyesal (QS 17:29).
Bahkan, kesederhanaan yang dituntut bukan hanya dalam bidang ekonomi saja, tetapi juga dalam bidang ibadah. Kesederhanaan dalam ibadah shalat misalnya, tidak hanya tergambar dari adanya pengurangan jumlah shalat dari lima puluh menjadi lima kali sehari, tetapi juga tergambar dalam petunjuk yang ditemukan di surat Al-Isra' ini juga, yakni yang berkenaan dengan suara ketika dilaksanakan shalat: Janganlah engkau mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan jangan pula merendahkannya, tetapi carilah jalan tengah di antara keduanya (QS 17: 110).
Jalan tengah di antara keduanya ini berguna untuk dapat mencapai konsentrasi, pemahaman bacaan dan kekhusyukan. Di saat yang sama, shalat yang dilaksanakan dengan "jalan tengah" itu tidak mengakibatkan gangguan atau mengundang gangguan, baik gangguan tersebut kepada saudara sesama Muslim atau non-Muslim, yang mungkin sedang belajar, berzikir, atau mungkin sedang sakit, ataupun bayi-bayi yang sedang tidur nyenyak. Mengapa demikian? Karena, dalam kandungan ayat yang menceritakan peristiwa ini, Tuhan menekankan pentingnya persatuan masyarakat seluruhnya. Dengan demikian, masing-masing orang dapat melaksanakan tugas sebaik-baiknya, sesuai dengan kemampuan dan bidangnya, tanpa mempersoalkan agama, keyakinan, dan keimanan orang lain. Ini sesuai dengan firman Allah:
Katakanlah wahai Muhammad, "Hendaklah tiap-tiap orang berkarya menurut bidang dan kemampuannya masing-masing." Tuhan lebih mengetahui siapa yang lebih benar jalannya (QS 17:84).
Akhirnya, sebelum uraian ini disudahi, ada baiknya dibacakan ayat terakhir dalam surat yang menceritakan peristiwa Isra' dan Mi'raj ini: Katakanlah wahai Muhammad: "Percayalah kamu atau tidak usah percaya (keduanya sama bagi Tuhan)." Tetapi sesungguhnya mereka yang diberi pengetahuan sebelumnya, apabila disampaikan kepada mereka, maka mereka menyungkur atas muka mereka, sambil bersujud (QS 17: 107).
Itulah sebagian kecil dari petunjuk dan kesan yang dapat kami pahami, masing-masing dari surat pengantar uraian peristiwa Isra ; yakni surat Al-Nahl, dan surat Al-Isra' sendiri. Khusus dalam pemahaman tentang peristiwa Isra' dan Mi'raj ini, semoga kita mampu menangkap gejala dan menyuarakan keyakinan tentang adanya ruh intelektualitas Yang Mahaagung, Tuhan Yang Mahaesa di alam semesta ini, serta mampu merumuskan kebutuhan umat manusia untuk memujaNya sekaligus mengabdi kepada-Nya.

Catatan kaki

204 Lihat bukunya, Asrar Tartib Al-Qur'an.
205 Lihat dalam pengantar untuk bukunya, Nazhm Al-Durar fi Tanasub Al-Ayat wa Al-Suwar.
 

HAJI


Oleh M. Quraish Shihab

Memahami makna ibadah haji, membutuhkan pemahaman secara
khusus sejarah Nabi Ibrahim dan ajarannya, karena
praktek-praktek ritual ibadah ini dikaitkan dengan
pengalaman-pengalaman yang dialami Nabi Ibrahim as. bersama
keluarga beliau. Ibrahim as. dikenal sebagai "Bapak para
Nabi", juga "Bapak monotheisme," serta "proklamator keadilan
Ilahi" kepada beliaulah merujuk agama-agama samawi terbesar
selama ini.

Para ilmuwan seringkali berbicara tentang penemuan-penemuan
manusia yang mempengaruhi atau bahkan merubah jalannya sejarah
kemanusiaan. Tapi seperti tulis al-Akkad,

"Penemuan yang dikaitkan dengan Nabi Ibrahim as. merupakan
penemuan manusia yang terbesar dan yang tak dapat diabaikan
para ilmuwan atau sejarawan, ia tak dapat dibandingkan dengan
penemuan roda, api, listrik, atau rahasia-rahasia atom betapa
pun besarnya pengaruh penemuan-penemuan tersebut, ... yang itu
dikuasai manusia, sedangkan penemuan Ibrahim menguasai jiwa
dan raga manusia. Penemuan Ibrahim menjadikan manusia yang
tadinya tunduk pada alam, menjadi mampu menguasai alam, serta
menilai baik buruknya, penemuan yang itu dapat menjadikannya
berlaku sewenang-wenang, tapi kesewenang-wenangan ini tak
mungkin dilakukannya selama penemuan Ibrahim as. itu tetap
menghiasi jiwanya ... penemuan tersebut berkaitan dengan apa
yang diketahui dan tak diketahuinya, berkaitan dengan
kedudukannya sebagai makhluk dan hubungan makhluk ini dengan
Tuhan, alam raya dan makhluk-makhluk sesamanya ..."

"Kepastian" yang dibutuhkan ilmuwan menyangkut hukum-hukum dan
tata kerja alam ini, tak dapat diperolehnya kecuali melalui
keyakinan tentang ajaran Bapak monotheisme itu, karena apa
yang dapat menjamin kepastian tersebut jika sekali Tuhan ini
yang mengaturnya dan di lain kali tuhan itu? Dengan demikian
monoteisme Ibrahim as. bukan sekedar hakikat keagamaan yang
besar, tapi sekaligus penunjang akal ilmiah manusia sehingga
lebih tepat, lebih teliti lagi, lebih meyakinkan. Apalagi
Tuhan yang diperkenalkan Ibrahim as. bukan sekedar tuhan suku,
bangsa atau golongan tertentu manusia, tapi Tuhan seru
sekalian alam, Tuhan yang imanen sekaligus transenden, yang
dekat dengan manusia, menyertai mereka semua secara
keseluruhan dan orang per orang, sendirian atau ketika dalam
kelompok, pada saat diam atau bergerak, tidur atau jaga, pada
saat kehidupannya, bahkan sebelum dan sesudah kehidupan dan
kematiannya. Bukannya Tuhan yang sifat-sifat-Nya hanya
monopoli pengetahuan para pemuka agama, atau yang hanya dapat
dihubungi mereka, tapi Tuhan manusia seluruhuya secara
universal.

Ajaran Ibrahim as. atau "penemuan" beliau benar-benar
merupakan suatu lembaran baru dalam sejarah kepercayaan dan
bagi kemanusiaan, walaupun tauhid bukan sesuatu yang tak
dikenal sebelum masa beliau, demikian pula keadilan Tuhan,
serta pengabdian pada yang hak dan transenden. Namun itu semua
sampai masa Ibrahim bukan merupakan ajaran kenabian dan
risalah seluruh umat manusia. Di Mesir 5.000 tahun lalu telah
dikumandangkan ajaran keesaan Tuhan, serta persamaan antara
sesama manusia, tapi itu merupakan dekrit dari singgasana
kekuasaan yang kemudian dibatalkan oleh dekrit penguasa
sesudahnya.

Ibrahim datang mengumandangkan keadilan Ilahi, yang
mempersamakan semua manusia dihadapan-Nya, sehingga betapa pun
kuatnya seseorang. Ia tetap sama di hadapan Tuhan dengan
seseorang yang paling lemah sekali pun, karena kekuatan si
kuat diperoleh dari pada-Nya, sedangkan kelemahan si lemah
adalah atas hikmah kebijaksanaan-Nya. Dia dapat mencabut atau
menganugerahkan kekuatan itu pada siapa saja sesuai dengan
sunnah-sunnah yang ditetapkan-Nya.

Ibrahim hadir di pentas kehidupan pada suatu masa persimpangan
menyangkut pandangan tentang manusia dan kemanusiaan, antara
kebolehan memberi sesajen yang dikorbankan berupa manusia,
atau ketidakbolehannya dengan alasan bahwa manusia adalah
makhluk yang sangat mulia, melalui Ibrahim as. secara amaliah
dan tegas larangan tersebut dilakukan, bukan karena manusia
terlalu tinggi nilainya sehingga tak wajar untuk dikorbankan
atau berkorban, tapi karena Tuhan Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang. Putranya Ismail diperintahkan Tuhan untuk
dikorbankan, sebagai pertanda bahwa apa pun --bila panggilan
telah tiba wajar untuk dikorbankan demi karena Allah. Setelah
perintah tersebut dilaksanakan sepenuh hati oleh ayah dan
anak, Tuhan dengan kekuasaan-Nya menghalangi penyembelihan
tersebut dan menggantikannya dengan domba sebagai pertanda
bahwa hanya karena kasih sayang-Nya pada manusia, maka praktek
pengorbanan semacam itu pun tak diperkenankan.

Ibrahim menemukan dan membina keyakinannya melalui pencaharian
dan pengalaman-pengalaman kerohanian yang dilaluinya dan hal
ini secara agamis atau Qur'ani terbukti bukan saja dalam
penemuannya tentang keesaan Tuhan seru sekalian alam,
sebagaimana diuraikan dalam QS. al-An'am 6:75, tapi juga dalam
keyakinan tentang hari kebangkitan. (Menarik untuk diketahui
bahwa beliaulah satu-satunya Nabi yang disebut al-Qur'an
meminta pada Tuhan untuk diperlihatkan bagaimana caranya
menghidupkan yang mati, dan permintaan beliau itu dikabulkan
Tuhan, lihat, QS. al-Baqarah 2:260).

Demikian sebagian kecil dari keistimewaan Nabi Ibrahim,
sehingga wajar jika beliau dijadikan teladan seluruh manusia,
seperti ditegaskan al-Qur'an surah al-Baqarah 2:127.
Keteladanan tersebut antara lain diwujudkan dalam bentuk
ibadah haji dengan berkunjung ke Makkah, karena beliaulah
bersama putranya Ismail yang membangun (kembali)
fondasi-fondasi Ka'bah (QS. al-Baqarah 2:127), dan beliau
pulalah yang diperintahkan untuk mengumandangkan syari'at haji
(QS. al-Haj 22:27). Keteladanan yang diwujudkan dalam bentuk
ibadah tersebut dan yang praktek-praktek ritualnya berkaitan
dengan peristiwa yang beliau dan keluarga alami, pada
hakikataya merupakan penegasan kembali dari setiap jamaah
haji, tentang keterikatannya dengan prinsip-prinsip keyakinan
yang dianut Ibrahim, yang intinya adalah,

1. Pengakuan Keesaan Tuhan, serta penolakan terhadap segala
macam dan bentuk kemusyrikan baik berupa patung-patung,
bintang, bulan dan matahari bahkan segala sesuatu selain
dari Allah swt.

2. Keyakinan tentang adanya neraca keadilan Tuhan dalam
kehidupan ini, yang puncaknya akan diperoleh setiap
makhluk pada hari kebangkitan kelak.

3. Keyakinan tentang kemanusiaan yang bersifat universal,
tiada perbedaan dalam kemanusiaan seseorang dengan lainnya,
betapa pun terdapat perbedaan antar mereka dalam hal-hal
lainnya.

Ketiga inti ajaran ini tercermin dengan jelas atau
dilambangkan dalam praktek-praktek ibadah haji ajaran Islam.
Tulisan ini akan menitikberatkan uraian menyangkut butir
ketiga, walau pun disadari, keyakinan tentang keesaan Tuhan
dan ketundukan semua makhluk di bawah pengawasan, pengaturan
dan pemeliharaan-Nya, mengantar makhluk ini, khususnya manusia
menyadari bahwa mereka semua sama dalam ketundukan pada Tuhan,
manusia dalam pandangan al-Qur'an, sama dari segi ini dengan
makhluk-makhluk lain, karena walau pun manusia memiliki
kemampuan menggunakan makhluk-makhluk lain, namun kemampuan
tersebut bukan bersumber dari dirinya, tapi akibat penundukan
Tuhan dan karena itu ia tak dibenarkan berlaku sewenang-wenang
terhadapnya, tapi berkewajiban bersikap bersahabat dengannya.

Keyakinan akan keesaan Tuhan juga mengantar manusia untuk
menyadari, bahwa semua manusia dalam kedudukan yang sama dari
segi nilai kemanusiaan, karena semua mereka diciptakan dan
berada di bawah kekuasaan Allah swt. QS. al-Hujurat 13
menunjukkan betapa erat kaitan antara keyakinan akan keesaan
Tuhan dengan persamaan nilai kemanusiaan.

Ibadah haji dikumandangkan Ibrahim as. sekitar 3600 tahun
lalu. Sesudah masa beliau, praktek-prakteknya sedikit atau
banyak telah mengalami perubahan, namun kemudian diluruskan
kembali oleh Muhammad saw. Salah satu hal yang diluruskan itu,
adalah praktek ritual yang bertentangan dengan penghayatan
nilai universal kemanusiaan haji. Al-Qur'an Surah al-Baqarah
2:199, menegur sekelompok manusia (yang dikenal dengan nama
al-Hummas) yang merasa diri memiliki keistimewaan sehingga
enggan bersatu dengan orang banyak dalam melakukan wuquf.
Mereka wukuf di Mudzdalifah sedang orang banyak di Arafah.
Pemisahan diri yang dilatarbelakangi perasaan superioritas
dicegah oleh al-Qur'an dan turunlah ayat tersebut diatas.
"Bertolaklah kamu dari tempat bertolaknya orang-orang banyak
dan mohonlah ampun kepada Allah sesungguhnya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang."

Tak jelas apakah praktek bergandengan tangan saat melaksanakan
thawaf pada awal periode sejarah Islam, bersumber dari ajaran
Ibrahim dalam rangka mempererat persaudaraan dan rasa
persamaan. Namun yang pasti Nabi saw membatalkannya, bukan
dengan tujuan membatalkan persaudaraan dan persamaan itu, tapi
karena alasan-alasan praktis pelaksanaan thawaf.

Salah satu bukti yang jelas tentang keterkaitan ibadah haji
dengan nilai-nilai kemanusiaan adalah isi khutbah Nabi saw
pada haji wada' (haji perpisahan) yang intinya menekankan:
Persamaan; keharusan memelihara jiwa, harta dan kehormatan
orang lain; dan larangan melakukan penindasan atau pemerasan
terhadap kaum lemah baik di bidang ekonomi maupun fisik.

Pengamalan Nilai-nilai Kemanusiaan Universal

Makna kemanusiaan dan pengalaman nilai-nilainya tak hanya
terbatas pada persamaan nilai antar perseorangan dengan yang
lain, tapi mengandung makna yang jauh lebih dalam dari sekedar
persamaan tersebut. Ia mencakup seperangkat nilai-nilai luhur
yang seharusnya menghiasi jiwa pemiliknya. Bermula dari
kesadaran akan fitrah atau jati dirinya serta keharusan
menyesuaikan diri dengan tujuan kehadiran di pentas bumi ini.
Kemanusiaan mengantar putra-putri Adam menyadari arah yang
dituju serta perjuangan mencapainya. Kemanusiaan menjadikan
makhluk ini memiliki moral serta berkemampuan memimpin
makhluk-makhluk lain mencapai tujuan penciptaan. Kemanusiaan
mengantarnya menyadari bahwa ia adalah makhluk dwi dimensi
yang harus melanjutkan evolusinya hingga mencapai titik akhir.
Kemanusiaan mengantarnya sadar bahwa ia adalah makhluk sosial
yang tak dapat hidup sendirian dan harus bertenggang rasa
dalam berinteraksi.

Makna-makna tersebut dipraktekkan dalam pelaksanaan ibadah
haji, dalam acara-acara ritual, atau dalam tuntunan non
ritualnya, dalam bentuk kewajiban atau larangan, dalam bentuk
nyata atau simbolik dan kesemuanya pada akhirnya mengantar
jemaah haji hidup dengan pengamalan dan pengalaman kemanusiaan
universal. Berikut ini dikemukakan secara sepintas beberapa di
antaranya.

Pertama, ibadah haji dimulai dengan niat sambil menanggalkan
pakaian biasa dan mengenakan pakaian ihram. Tak dapat
disangkal bahwa pakaian menurut kenyataannya dan juga menurut
al-Qur'an berfungsi sebagai pembeda antara seseorang atau
sekelompok dengan lainnya. Pembedaan tersebut dapat mengantar
kepada perbedaan status sosial, ekonomi atau profesi. Pakaian
juga dapat memberi pengaruh psikologis pada pemakainya. Di
Miqat Makany di tempat dimana ritual ibadah haji dimulai,
perbedaan dan pembedaan tersebut harus ditanggalkan. Semua
harus memakai pakaian yang sama. Pengaruh-pengaruh psikologis
dari pakaian harus ditanggalkan, hingga semua merasa dalam
satu kesatuan dan persamaan. "Di Miqat ini ada pun ras dan
sukumu lepaskan semua pakaian yang engkau kenakan sehari-hari
sebagai serigala (yang melambangkan kekejaman dan penindasan),
tikus (yang melambangkan kelicikan), anjing (yang melambangkan
tipu daya), atau domba (yang melambangkan penghambaan).
Tinggalkan semua itu di Miqat dan berperanlah sebagai manusia
yang sesungguhnya. [2]

Di Miqat dengan mengenakan dua helai pakaian berwarna
putih-putih, sebagaimana yang akan membalut tubuhnya ketika ia
mengakhiri perjalanan hidup di dunia ini, seorang yang
melaksanakan ibadah haji akan atau seharusnya dipengaruhi
jiwanya oleh pakaian ini. Seharusnya ia merasakan kelemahan
dan keterbatasannya, serta pertanggungjawaban yang akan
ditunaikannya kelak di hadapan Tuhan Yang Maha Kuasa. Yang
disisi-Nya tiada perbedaan antara seseorang dengan yang lain,
kecuali atas dasar pengabdian kepada-Nya.

Kedua, dengan dikenakannya pakaian ihram, maka sejumlah
larangan harus diindahkan oleh pelaku ibadah haji. Seperti
jangan menyakiti binatang, jangan membunuh, jangan menumpahkan
darah, jangan mencabut pepohonan. Mengapa? Karena manusia
berfungsi memelihara makhluk-makhluk Tuhan itu, dan memberinya
kesempatan seluas mungkin mencapai tujuan penciptaannya.
Dilarang juga menggunakan wangi-wangian, bercumbu atau kawin,
dan berhias supaya setiap haji menyadari bahwa manusia bukan
hanya materi semata-mata bukan pula birahi. Hiasan yang
dinilai Tuhan adalah hiasan rohani. Dilarang pula menggunting
rambut, kuku, supaya masing-masing menyadari jati dirinya dan
menghadap pada Tuhan sebagaimana apa adanya.

Ketiga, Ka'bah yang dikunjungi mengandung pelajaran yang amat
berharga dari segi kemanusiaan. Di sana misalnya ada Hijr
Ismail yang arti harfiahnya pangkuan Ismail. Di sanalah Ismail
putra Ibrahim, pembangun Ka'bah ini pernah berada dalan
pangkuan Ibunya yang bernama Hajar, seorang wanita hitam,
miskin bahkan budak, yang konon kuburannya pun di tempat itu,
namun demikian budak wanita ini ditempatkan Tuhan di sana atau
peninggalannya diabadikan Tuhan, untuk menjadi pelajaran bahwa
Allah swt memberi kedudukan untuk seseorang bukan karena
keturunan atau status sosialnya, tapi karena kedekatannya
kepada Allah swt dan usahanya untuk menjadi hajar atau
berhijrah dari kejahatan menuju kebaikan, dari keterbelakangan
menuju peradaban.

Keempat, setelah selesai melakukan thawaf yang menjadikan
pelakunya larut dan berbaur bersama manusia-manusia lain,
serta memberi kesan kebersamaan menuju satu tujuan yang sama
yakni berada dalam lingkungan Allah swt dilakukanlah sa'i. Di
sini muncul lagi Hajar, budak wanita bersahaja yang
diperistrikan Nabi Ibrahim itu, diperagakan pengalamannya
mencari air untuk putranya. Keyakinan wanita ini akan
kebesaran dan kemahakuasaan Allah sedemikian kokoh, terbukti
jauh sebelum peristiwa pencaharian ini, ketika ia bersedia
ditinggal (Ibrahim) bersama anaknya di suatu lembah yang
tandus, keyakinannya yang begitu dalam tak menjadikannya
samasekali berpangku tangan menunggu turunnya hujan dari
langit, tapi ia berusaha dan berusaha berkali-kali
mondar-mandir demi mencari kehidupan. Hajar memulai usahanya
dari bukit Shafa yang arti harfiahnya adalah "kesucian dan
ketegaran" [3] --sebagai lambang bahwa mencapai kehidupan
harus dengan usaha yang dimulai dengan kesucian dan
ketegaran-- dan berakhir di Marwah yang berarti "ideal
manusia, sikap menghargai, bermurah hati dan memaafkan orang
lain" [4].

Adakah makna yang lebih agung berkaitan dengan pengamalan
kemanusiaan dalam mencari kehidupan duniawi melebihi
makna-makna yang digambarkan di atas? Kalau thawaf
menggambarkan larutnya dan meleburnya manusia dalam hadirat
Ilahi, atau dalam istilah kaum sufi al-fana' fi Allah maka
sai' menggambarkan usaha manusia mencari hidup --yang ini
dilakukan begitu selesai thawaf-- yang melambangkan bahwa
kehidupan dunia dan akhirat merupakan suatu kesatuan dan
keterpaduan. Maka dengan thawaf disadarilah tujuan hidup
manusia. Setengah kesadaran itu dimulai sa'i yang
menggambarkan, tugas manusia adalah berupaya semaksimal
mungkin. Hasil usaha pasti akan diperoleh baik melalui
usahanya maupun melalui anugerah Tuhan, seperti yang dialami
Hajar bersama putranya Ismail dengan ditemukannya air Zamzam
itu.

Kelima, di Arafah, padang yang luas lagi gersang itu seluruh
jamaah wuquf (berhenti) sampai terbenamnya matahari. Di
sanalah mereka seharusnya menemukan ma'rifat pengetahuan
sejati tentang jati dirinya, akhir perjalanan hidupnya, serta
di sana pula ia menyadari langkah-langkahnya selama ini,
sebagaimana ia menyadari pula betapa besar dan agung Tuhan
yang kepadaNya bersimpuh seluruh makhluk, sebagaimana
diperagakan secara miniatur di padang tersebut.
Kesadaran-kesadaran itulah yang mengantarkannya di padang
'arafah untuk menjadi 'arif atau sadar dan mengetahui.
Kearifan apabila telah menghias seseorang, maka Anda akan,
menurut Ibnu Sina, "Selalu gembira, senyum, betapa tidak
senang hatinya telah gembira sejak ia mengenal-Nya, ... di
mana-mana ia melihat satu saja, ... melihat Yang Maha Suci
itu, semua makhluk di pandangnya sama (karena memang semua
sama, ... sama membutuhkan-Nya). Ia tak akan mengintip-ngintip
kelemahan atau mencari-cari kesalahan orang, ia tidak akan
cepat tersinggung walau melihat yang mungkar sekalipun karena
jiwanya selalu diliputi rahmat dan kasih sayang.

Keenam, dari Arafah para jamaah ke Mudzdalifah mengumpulkan
senjata menghadapi musuh utama yaitu setan, kemudian
melanjutkan perjalanan ke Mina dan di sanalah para Jamaah haji
melampiaskan kebencian dan kemarahan mereka masing-masing
terhadap musuh yang selama ini menjadi penyebab segala
kegetiran yang dialaminya.

Demikianlah ibadah haji merupakan kumpulan simbol-simbol yang
sangat indah, apabila dihayati dan diamalkan secara baik dan
benar, maka pasti akan mengantarkan setiap pelakunya dalam
lingkungan kemanusiaan yang benar sebagaimana dikehendaki
Allah.

CATATAN

1. Lihat Abbas Mahmud al-Aqqad dalam Al-'Aqaid Wa al-mazahib,
Dar al-Kitab al-Arabi, Beirut 1978, h. 12-15.

2. Lihat lebih jauh Ali Syariati dalam Haji, penterjemah Anas
Mahyuddin, Pustaka Bandung, 1983, h. 12.

3. Lihat al-Qurthuby dalam Tafsirnya al-jami'li Ahkam
al-Qur'an, Dar al-Kitab al-Arabi, Cairo 1967, Jilid 11, h.
180.

4. Lihat Abdul Halim Mahmud, Al-tafkir al-falsafi fi 'l-Islam,
Dar al-Kitab al-Arabi, Beirut, 1982. h. 430.